Selasa, 09 Juni 2009

PSP Go Seharga $249.99 dan Dalam 2 Warna (Putih & Hitam) dengan Game Pertama Gran Turismo



PSP Go

Sony Computer Entertainment kurang berhasil dalam menutupi pemberitaan utamanya pada E3 tahun ini. Berita mengenai desain baru dari PSP--PSP Go--sudah cukup lama beredar isunya, dari yang hanya sekedar isu sampai pihak Sony sendiri yang membocorkan sedikit demi sedikit.


Meskipun bocor, Sony tetap menjaga beberapa informasi penting agar tidak bocor. Sebagai bagian dari press conference yang diadakan, Sony mengumumkan bahwa PSP Go akan dirilis bersamaan dengan Gran Turismo pada tanggal 1 Oktober. Harganya dipastikan akan senilai $249.99/�249.99, harga yang sama dengan pendahulunya ketika dirilis pertama kali pada tahun 2005.


Bocoran pertama muncul pertama kali di tahun 2004, Gran Turismo versi PSP dikatakan sebagai "a full-sized Gran Turismo". Game ini telah memiliki total 800 jenis mobil di dalamnya, 35 tracks dengan 60 layout yang berbeda. Single player mode yang tersedia juga dalam bentuk time-trial dan traning mode. Game ini juga mendukung multiplayer sampai dengan 4 orang, dan para pemain juga dapat berbagi dan menukar kartu di antara mereka.


Bukan hanya itu, Hideo Kojima juga memberitakan mengenai seri terbari Metal Gear Solid, Metal Gear Solid: Peace Walker. Seri ini menceritakan 10 tahun setelah kejadian Metal Gear Solid 3, di mana ini merupakan penyambung cerita dari keseluruhan Metal Gear Solid.


Selain itu, Kojima juga memunculkan sebuah trailer, di mana dalam trailer tersebut menunjukkan era tes bom nuklir pada tahun 1950. Peace Walker akan mengambil setting di Amerika Latin. Metal Gear Solid: Peace Walker akan dirilis pada tahun 2010 untuk PSP.

Rabu, 27 Mei 2009

Windows 7 Hadir dengan XP Mode

Windows XP mungkin memang sistem operasi terbaik yang pernah dimiliki oleh Microsoft. Bahkan setelah Vista yang dibuat untuk menggantikan XP ternyata kemunculannya tidak membuat permintaan terhadap sistem operasi ini menjadi surut. Beberapa pihak dari pengguna dan vendor sendiri melakukan protes dan mendesak Microsoft agar tetap menjual lisensinya dan memperpanjang dukungan terhadap sistem operasi ini lebih lama lagi. Untungnya Microsoft bersedia menyanggupi tuntutan tersebut. Fakta memang berbicara XP lebih ringan, stabil dan kompatibel dengan banyak perangkat dibandingkan Vista.
Virtual Windows XP Installation.jpg
Microsoft sadar dengan masih banyaknya pengguna XP dibandingkan Vista, maka mereka melancarkan strategi unik untuk menggaet para pengguna setia XP agar mau menggunakan sistem operasi terbaru mereka, yaitu Windows 7 dengan menyertakan fitur yang disebut XP Mode.
Virtual Windows XP Window.jpg
Fitur yang sebelummnya bernama Virtual Windows XP ini merupakan sebuah lingkungan virtual yang dirancang supaya pengguna Windows 7 dapat dengan lancar menjalankan aplikasi yang sebelumnya sudah bisa berjalan di Windows XP. Versi Windows XP yang dipakai sudah dilengkapi dengan SP 3 yang merupakan update terakhir di sistem operasi ini. Virtual PC menjadi teknologi yang menyokong kemampuan virtualisasinya, Microsoft membeli teknologi tersebut dari perusahaan Connectix pada tahun 2003.
Virtual Windows XP Settings 1.jpg
Tidak seperti solusi virtualisasi lainnya, lingkungan virtual tidak dipisah dengan jendela khusus, aplikasi yang dijalankan dapat langsung menyatu dengan Windows 7. Bisa Anda lihat pada screenshot di bawah bagaimana aplikasi Word 2003 yang seharusnya hanya bisa berjalan di maksimal versi Windows XP, bisa dijalankan berdampingan dalam satu tempat dengan Word 2007 di lingkungan Windows 7.
Virtual Windows XP Office 2003 2007.jpg
Dengan menambahkan fitur yang berkaitan dengan masalah kompatibilitas ini pihak Microsoft ingin memperbaiki kekurangan sebelumnya di Vista, di mana timbul masalah kompatibilitas dengan aplikasi yang didesain untuk sistem operasi XP dan versi yang lebih lama lainnya.

Scott Woodgate dari Microsoft mengatakan melalui blognya, "Windwos XP Mode didesain secara khusus untuk membantu perusahaan/ bisnis kecil untuk beralih ke Windows 7." Kemudian dikatakan juga, "Windows XP Mode menyediakan fleksibilitas untuk menjalankan banyak aplikasi produktif yang sudah lama di PC berbasis Windows 7"

Yang patut disayangkan adalah dibatasinya penggunaan XP Mode ini hanya pada Windows 7 edisi Professional, Enterprise dan Ultimate saja. Dan itupun Anda harus mengunduh aplikasinya terlebih dulu namun dengan gratis.

Pihak Microsoft mengatakan akan segera merilis versi beta dari Windows XP Mode dan Windows Virtual PC untuk Windows 7 Professional dan Windows 7 Ultimate.

Beberapa screenshot yang diambil dari situs WinSuperSite.com memperlihatkan bagaimana XP Mode ini diinstalasi kemudian bagaimana pengaturannya di Win7 dan diuji coba dengan menginstal dan menjalankan aplikasi Office 2003. Dan nanti Anda akan melihat bagaimana apliaksi Office 2003 berjalan bersamaan dengan Office 2007 dalam satu layar yang menunjukkan keistimewaan dari teknik virtualisasi ini.

Bagaimaan menurut pendapat Anda mengenai fitur spesial di Windwos 7 ini? Apakah nantinya bermanfaat untuk para pengguna Windows 7?

Senin, 20 April 2009

Terompet Ujian Nasional Itu Telah Ditiup

Teka-teki tentang kapan ujian nasional 2009 akan dilaksanakan, akhirnya terjawab sudah. Setelah terjadi kesepakatan bersama antara BSNP, Depdiknas, dan Depag, akhirnya diputuskan jadwal Ujian Nasional sebagai berikut:

- SMA/MA (20-24 April 2009)
- SMP/Mts (27-30 April 2009)
- SD/MI (11-13 Mei 2009)
- SMK/SMALB (20-22 April 2009)

(Informasi selengkapnya, silakan kunjungi web Depdiknas di http://www.depdiknas.go.id/ )

ujianDalam pengumuman terbaru, Depdiknas juga memublikasikan Permendiknas No. 77, 78, dan 82 Tahun 2008 tentang Ujian Nasional untuk jenjang SMA/MA, SMP/MTs/SMPLB, SMALB, dan SMK, serta Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar Luar Biasa (SD/MI/SDLB) Tahun Pelajaran 2008/2009.

Secara umum, isi Permendiknas ini tak jauh berbeda dengan Permendiknas tahun sebelumnya. Selain memuat perangkat hukum yang melandasinya, juga memuat berbagai ketentuan pelaksanaan UN untuk jenjang pendidikan tertentu. Yang jelas berbeda adalah kriteria kelulusan. Pada tahun lalu, siswa dinyatakan lulus apabila memiliki nilai rata-rata minimal 5,25 dengan nilai terendah 4,00. Untuk UN tahun 2009, peserta UN dinyatakan lulus jika memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Ini artinya, UN tahun 2009 terjadi peningkatan angka keriteria kelulusan, dan mungkin akan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Dengan diluncurkannya Permendikas yang ditandatangani 5 Desember 2008 itu, maka mentahlah sudah masukan dan kritik dari berbagai kalangan tentang perlunya penghapusan UN.

Jika dicermati, arus utama yang mengemuka dalam wacana penghapusan UN, setidaknya dilatarbelakangi oleh empat argumen yang cukup mendasar. Pertama, UN dinilai tidak sejalan dengan pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang wajib dilaksanakan oleh semua satuan pendidikan di berbagai jenjang dan tingkatan mulai tahun 2009/2010. Dalam KTSP, sekolah memiliki otoritas penuh untuk mengatur “rumah tangga”-nya sendiri, termasuk dalam mengevaluasi kompetensi siswa didik. Sungguh tidak relevan kalau pada akhirnya justru yang mengevaluasi pihak lain.

Kedua, UN sangat rawan terhadap berbagai penyimpangan. Ironisnya, banyak penyimpangan yang (hampir) terjadi tiap tahun, tetapi (nyaris) tak ada tindak lanjutnya. Dalam konteks ini, bangsa kita seolah-olah sudah “menghalalkan” kecurangan dan penyimpangan pelaksanaan UN sebagai bagian dari sebuah budaya. Kalau memang benar ini yang terjadi, quo-vadis dunia pendidikan kita?

Ketiga, UN memiliki implikasi sosial yang cukup luas. Fakta sudah banyak membuktikan, banyak anak berpotensi dan bertalenta besar, tetapi harus “terbunuh” masa depannya lantaran tak lulus UN. Selain harus menanggung beban psiko-sosial yang cukup berat akibat stigma “bodoh” bagi siswa yang tak lulus, siswa yang bersangkutan juga kehilangan semangat berkompetisi. Bisa jadi, inilah kelemahan soal UN yang dinilai kurang sahih lantaran tidak dibuat oleh guru yang memahami benar materi pelajaran yang sudah disajikan kepada siswa didiknya.

Keempat, UN dinilai boros dan berbiaya tinggi. Argumen ini memang tidak berlebihan. Mulai persiapan, pelaksanaan, hingga tindak lanjutnya, UN selalu melibatkan banyak pihak yang sama-sama memiliki kepentingan. Keterlibatan banyak pihak, jelas akan membuat biaya pelaksanaan UN jadi membengkak. Jadilah UN tak lebih dari sekadar “proyek” tahunan yang selalu dinanti kehadirannya oleh pihak-pihak yang merasa diuntungkan.

Argumen apa pun yang dikemukakan, agaknya tak akan pernah menyurutkan langkah pemerintah dalam menjadikan UN sebagai sarana sekaligus upaya peningkatan mutu pendidikan. Ini sebuah risiko yang mesti ditanggung secara kolektif akibat lamanya bangsa kita terejebak dan terbuai dalam lingakaran berhala angka-angka. Alasan pemerintah makin kuat ketika sudah ada perangkat hukum yang jelas-jelas mengaturnya, yakni Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Selama perangkat hukum tersebut belum dicabut, agaknya UN akan jalan terus.

Selain itu, juga ada upaya serius dari pemerintah, melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), untuk menjadikan UN sebagai bagian dari marwah dan gengsi daerah. Setiap tahun, BSNP selalu menyusun peringkat hasil UN, mulai tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, hingga sekolah. Hasil pemeringkatan ini didistribusikan ke daerah-daerah hingga akhirnya UN menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan daerah tertentu dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Upaya serius BSNP ini memang layak diapresiasi. Namun, juga tidak menutup kemungkinan, banyak daerah yang cenderung “menghalalkan” segala cara untuk mengatrol perolehan nilai UN di daerahnya demi menjaga marwah dan gengsi daerah. Kalau ini yang terjadi, sungguh UN bukannya alat yang tepat untuk mengukur mutu pendidikan, melainkan justru bisa menjadi benang geloutine yang akan menjerat leher sendiri.

Ibarat sebuah pesta, terompet ujian nasional itu telah ditiup oleh Mendiknas. Tak lama lagi, kita akan menyaksikan sebuah hajat akhir tahun pelajaran yang meriah dan mengundang banyak perhatian. Kita berharap UN benar-benar bisa menjadi “ikon” peningkatan mutu pendidikan, sehingga dari sana akan lahir anak-anak masa depan yang cerdas, santun, religius, dan beradab. Kalau UN yang berbiaya tinggi itu gagal mewujudkannya, sungguh tidak salah kalau orang berteriak garang agar UN benar-benar dihapus. Nah, bagaimana?