Senin, 20 April 2009

Terompet Ujian Nasional Itu Telah Ditiup

Teka-teki tentang kapan ujian nasional 2009 akan dilaksanakan, akhirnya terjawab sudah. Setelah terjadi kesepakatan bersama antara BSNP, Depdiknas, dan Depag, akhirnya diputuskan jadwal Ujian Nasional sebagai berikut:

- SMA/MA (20-24 April 2009)
- SMP/Mts (27-30 April 2009)
- SD/MI (11-13 Mei 2009)
- SMK/SMALB (20-22 April 2009)

(Informasi selengkapnya, silakan kunjungi web Depdiknas di http://www.depdiknas.go.id/ )

ujianDalam pengumuman terbaru, Depdiknas juga memublikasikan Permendiknas No. 77, 78, dan 82 Tahun 2008 tentang Ujian Nasional untuk jenjang SMA/MA, SMP/MTs/SMPLB, SMALB, dan SMK, serta Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar Luar Biasa (SD/MI/SDLB) Tahun Pelajaran 2008/2009.

Secara umum, isi Permendiknas ini tak jauh berbeda dengan Permendiknas tahun sebelumnya. Selain memuat perangkat hukum yang melandasinya, juga memuat berbagai ketentuan pelaksanaan UN untuk jenjang pendidikan tertentu. Yang jelas berbeda adalah kriteria kelulusan. Pada tahun lalu, siswa dinyatakan lulus apabila memiliki nilai rata-rata minimal 5,25 dengan nilai terendah 4,00. Untuk UN tahun 2009, peserta UN dinyatakan lulus jika memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Ini artinya, UN tahun 2009 terjadi peningkatan angka keriteria kelulusan, dan mungkin akan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Dengan diluncurkannya Permendikas yang ditandatangani 5 Desember 2008 itu, maka mentahlah sudah masukan dan kritik dari berbagai kalangan tentang perlunya penghapusan UN.

Jika dicermati, arus utama yang mengemuka dalam wacana penghapusan UN, setidaknya dilatarbelakangi oleh empat argumen yang cukup mendasar. Pertama, UN dinilai tidak sejalan dengan pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang wajib dilaksanakan oleh semua satuan pendidikan di berbagai jenjang dan tingkatan mulai tahun 2009/2010. Dalam KTSP, sekolah memiliki otoritas penuh untuk mengatur “rumah tangga”-nya sendiri, termasuk dalam mengevaluasi kompetensi siswa didik. Sungguh tidak relevan kalau pada akhirnya justru yang mengevaluasi pihak lain.

Kedua, UN sangat rawan terhadap berbagai penyimpangan. Ironisnya, banyak penyimpangan yang (hampir) terjadi tiap tahun, tetapi (nyaris) tak ada tindak lanjutnya. Dalam konteks ini, bangsa kita seolah-olah sudah “menghalalkan” kecurangan dan penyimpangan pelaksanaan UN sebagai bagian dari sebuah budaya. Kalau memang benar ini yang terjadi, quo-vadis dunia pendidikan kita?

Ketiga, UN memiliki implikasi sosial yang cukup luas. Fakta sudah banyak membuktikan, banyak anak berpotensi dan bertalenta besar, tetapi harus “terbunuh” masa depannya lantaran tak lulus UN. Selain harus menanggung beban psiko-sosial yang cukup berat akibat stigma “bodoh” bagi siswa yang tak lulus, siswa yang bersangkutan juga kehilangan semangat berkompetisi. Bisa jadi, inilah kelemahan soal UN yang dinilai kurang sahih lantaran tidak dibuat oleh guru yang memahami benar materi pelajaran yang sudah disajikan kepada siswa didiknya.

Keempat, UN dinilai boros dan berbiaya tinggi. Argumen ini memang tidak berlebihan. Mulai persiapan, pelaksanaan, hingga tindak lanjutnya, UN selalu melibatkan banyak pihak yang sama-sama memiliki kepentingan. Keterlibatan banyak pihak, jelas akan membuat biaya pelaksanaan UN jadi membengkak. Jadilah UN tak lebih dari sekadar “proyek” tahunan yang selalu dinanti kehadirannya oleh pihak-pihak yang merasa diuntungkan.

Argumen apa pun yang dikemukakan, agaknya tak akan pernah menyurutkan langkah pemerintah dalam menjadikan UN sebagai sarana sekaligus upaya peningkatan mutu pendidikan. Ini sebuah risiko yang mesti ditanggung secara kolektif akibat lamanya bangsa kita terejebak dan terbuai dalam lingakaran berhala angka-angka. Alasan pemerintah makin kuat ketika sudah ada perangkat hukum yang jelas-jelas mengaturnya, yakni Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Selama perangkat hukum tersebut belum dicabut, agaknya UN akan jalan terus.

Selain itu, juga ada upaya serius dari pemerintah, melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), untuk menjadikan UN sebagai bagian dari marwah dan gengsi daerah. Setiap tahun, BSNP selalu menyusun peringkat hasil UN, mulai tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, hingga sekolah. Hasil pemeringkatan ini didistribusikan ke daerah-daerah hingga akhirnya UN menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan daerah tertentu dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Upaya serius BSNP ini memang layak diapresiasi. Namun, juga tidak menutup kemungkinan, banyak daerah yang cenderung “menghalalkan” segala cara untuk mengatrol perolehan nilai UN di daerahnya demi menjaga marwah dan gengsi daerah. Kalau ini yang terjadi, sungguh UN bukannya alat yang tepat untuk mengukur mutu pendidikan, melainkan justru bisa menjadi benang geloutine yang akan menjerat leher sendiri.

Ibarat sebuah pesta, terompet ujian nasional itu telah ditiup oleh Mendiknas. Tak lama lagi, kita akan menyaksikan sebuah hajat akhir tahun pelajaran yang meriah dan mengundang banyak perhatian. Kita berharap UN benar-benar bisa menjadi “ikon” peningkatan mutu pendidikan, sehingga dari sana akan lahir anak-anak masa depan yang cerdas, santun, religius, dan beradab. Kalau UN yang berbiaya tinggi itu gagal mewujudkannya, sungguh tidak salah kalau orang berteriak garang agar UN benar-benar dihapus. Nah, bagaimana?

Tidak ada komentar: